Subscribe For Free Updates!

We'll not spam mate! We promise.

4.29.2010

METODE TAKHRIJ HADITS

Subhan
1. Takhrij Hadits dilihat dari keadaan sanadnya
Diantara keadaan-keadaan sanad yang diketahui disisi para ahli hadits adalah seperti musalsal, riwayat seorang rawi dari ayahnya dari kakeknya, seperti riwayat ‘Amr Ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, atau riwayat as-Sabiq wa al-Lahiq, seperti dua orang rawi yang berjauhan tahun wafatnya dari apa yang disanksikan terputusnya, meriwayatkan hadits dari seorang syaikh atau riwayat al-Abaa ‘an al-Abnaa atau riwayat al-Kabir ‘an ash-Shaghir dan yang semacam itu.
Hal itu akan memudahkan pencarian sanad dan matan hadits. Dan diantara kitab-kitab yang menyajikan hal itu ialah :
1. al-Manahil as-Silsilah fii al-Ahadits al-Musalsalah. Karangan Syaikh Muhammad Abd al-Baqi al- Ayyubi (1333 H). dan menyebarluaskannya Dar al-Kutub al-Ilmiyyah- Beirut pada tahun 1403 H/1982 M.
2. Nudhum al-La-ali al-Mutanatsirah fi al-Ahadits al-Mutawatirah, karangan Abu al-Faidh Muhammad Murtadha az-Zabidi (1205 H). dan menyebarluaskannya Dar al-Kutub al-Ilmiyyah- Beirut pada tahun 1405 H/1985 M
3. Man rawa ‘an Abihi ‘an Jaddihi, karangan Zainuddin Abi al-Ad’l Qasim Ibn Qathlabugha (879 H). dan menyebarluaskannya Maktabah al-Ma’la –Kuwait pada tahun 1409 H/1988 M
4. as-Sabiq wa al-Lahiq fi tabaaud ma baina wafati rawiyain ‘an syaikh wahid, karangan Abu Bakr Ahmad Ibn ‘Ali al-Khathib al-Baghdadi (463 H). dan disebarluaskan oleh Dar Thayyibah – Riyadh pada tahun 1402 H/1983 M
2. Takhrij hadits dilihat dari segi keadaan matannya
Sesungguhnuya orang yang memperdalami ilmu hadits, mereka mengetahui bahwa disana terdapat tanda-tanda dalam hadits yang menunjukan keadaannya dan yang membedakannya dari yang lain. Seperti keadaan hadits itu ialah hadits qudsi atau keadaan hadits itu hadits masyhur di lisan orang-orang mengenai perbedaan hukum-hukumnya atau padanya terdapat ciri-ciri kedustaan, seperti cacat pada makna atau lafadznya atau pula bertentangannya dengan yang lebih sharih dan shahih.
Dan dengan ciri-ciri seperti diatas akan memudahkan bagi peneliti mencari sumber hadits. Adapun diantara kitab-kitab yang membahas hal-hal diatas adalah:
1. al-Maqashid as-Sunniyyah fii al-ahadits al-Ilahiyyah, karangan Abu al-Qasim ‘Ali Ibn Bulban al-Maqdisi (684 H)
2. al-Maqashid al-Hasanah fii Bayan Katsir min al-Ahadits al-Musytaharah ‘ala al-Alsinat, karangan Syam ad-Din Muhammad Ibn Abd ar-Rahman as-Sakhawi (902 H)
3. al-Ithafat as-Sunniyyah fi al-Ahadits al-Qudsiyyah, karangan Syaikh Muhammad al-Madani (1200 H)
4. Kasyf al-Khafa ma Mazil al-Ilbas ‘an ma isytahara ‘alaa alsinat an-Nas, karangan Syaikh Ismail Ibn Muhammad al-‘Ajaluni al-Jarrahi (1162 H)
5. Kaifiyyah Mentakhrij Hadits Secara Umum
5.1. Metode alternatif yang ideal untuk mentakhrij Hadits
Hendaklah peneliti ketika memulai mentakhrij nash apapun, memperhatikan dengan baik padanya karena terkadang lafadz hadits yang ditemukan tidak sesuai dengan apa yang asli dari kitab sumbernya, tetapi ia diriwayatkan dari segi maknanya (riwayat bi al-ma’na) atau terkadang tersusun lafadz itu dari dua hadits atau lebih.
Atau terkadang hanya potongan dari matan haditsnya saja yang disebut, ada kalanya ditengah-tengah atau akhirnya atau barang kali di awalnya.
Atau terkadang keadaannya adalah hadits yang utuh atau sempurna namun sanadnya tidak disebutkan.
Atau menyebutkan dengan sanad dan lafadznya pada satu kitab diantara kitab-kitab yang diakui. Demikianlah, adapun metode alternatif yang ideal untuk keadaan-keadaan diatas ialah :
1. Kaifiyyah takhrij nash yang diriwayatkan dengan maknanya.
Kita perhatikan nash yang ada pada tangan kita kemudian kita perkirakan dengan seksama pada bab apa kemungkinan nash itu ada kemudian kita memulai pencarian dengan menggunakan metode takhrij dilihat dari temanya sampai bila terkumpul disisi kita, hadits-hadits yang mungkin mengandung setiap dari padanya itu makna yang kita cari, kita perhatikan takhrij setiap hadits itu dengan melihat lafadz dan sanadnya.
Contoh : kita dapati pada sebuah kitab diantara kitab-kitab fiqh sebuah hadits :

Artinya : “Diriwayatkan bahwa sanya Nabi SAW beliau senantiasa bersiwak”
Maka nash ini adalah riwayat bagi perbuatan Nabi SAW dan kalau kita mencari sebagian lafadz-lafadznya niscaya kita tidak akan menemukannya dengan lafadz ini, karena hadits yang menerangkan bahwa Nabi SAW senantiasa mendawamkan siwak diriwayatkan dengan periwayatan-periwayatan yang banyak pada kejadian yang berbeda namun kesemuanya itu menunjukan atas berkesinambungannya Nabi Saw dalam bersiwak.
Maka yang pertama kita lakukan ialah memeriksa nash ini dalam bab manakah yang mungkin kita bisa menemukannya, dan galibnya siwak itu berkaitan dengan Thaharah (bersuci), karena siwak adalah alat pencuci untuk mulut, maka pencarian kita pada kitab Thaharah bab siwak kemudian kita merujuk pada kitab-kitab hadits yangdisusun berdasarkan bab keilmuan atau fiqh dan cari pada bab tersebut tentang lafadz-lafadz hadits yang memberi faidah bahwa Nabi SAW mendawamkan siwak.
Sampai bila terkumpul hadits-hadits pada makna ini, kita mengulangi sekali lagi mentakhrij dengan menggunakan metode peninjauan sanad dengan mempergunakan mu’jam-mu’jam Mufahrasah li Alfadz al-Hadits. Sehingga bisa telihat hadits itu pada sumber-sumber yang sama mengeluarkan hadits tersebut.
Setelah itu, kita mulai mengumpulkannya dan memperhatikan jalan-jalan dan keadaan sanadnya sampai kita bisa membedakan yang shahih dari yang dha’if dari yang hasan.
2. Kaifiyyah Takhrij Hadits bila tersusun dari dua hadits atau lebih.
Umpamanya hadits berikut ini :




Artinya:
Bahwa sanya Nabi SAW lewat kepada kambing milik Maimunah yang telah mati kemudian beliau bersabda : “mengapa kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian menyamaknya maka kalian bisa mengambil manfaat darinya ?” maka ditanyakan : “sesungguhnya ia (kambing) itu adalah bangkai” maka Rasulallah menjawab : “apa saja kulit yang disamak maka sungguh ia telah suci”
Maka susunan itu terdiri dari dua hadits dan tidak akan tampak jelas hal itu kecuali setelah mentakhrijnya.
Maka metode takhrij nash ini ialah dengan melihat lafadz dan tema fiqhnya yang terkandung dalam hadits.
Adapun takhrij dengan melihat lafadz-lafadznya ialah dengan jalan menentukan awal lafadz Nabi, seperti:


Atau bisa pula dari jalan lafadz-lafadz yang ada pada nash. Seperti :

Adapun metode takhrij dengan melihat tema haditsnya maka ‘pemanfaatan kulit bangkai kambing’ terkadang digunakan wadah air maka ada kalanya suci ataupun najis, maka berdasarkan hal itulah mungkin terkandung dalam kitab thaharah dalam bab bejana, kemudian kita mencarinya pada bab-bab ini dalam kitab-kitab yang disusun hadits-hadits berdasarkan bab ilmiyyah sampai kita mendapatkan hadits itu.
Kemudian setelah itu kita meningkatkan takhrij hadits hadits dilihat dari jalan sanadnya untuk penyempurnaan takhrij, sampai bila terkumpul pada kita hadits-hadits mengenai bab ini, niscaya kita bisa memisahkan atau membedakan diantara dua hadits yang ada pada satu susunan itu. Dan bisa pula kita mengetahui keshahihan dan kedla’ifan setiap hadits.
3. Bila potongan hadits itulah yang ada pada tangan peneliti.
Maka metode yang paling dekat untuk mentakhrij Hadits disini ialah mentakhrij dari jalan lafadz-lafadznya. Bila keadaan potongan hadits yang ada pada tangan kita itu mengandung hukum syara’ atau tema ilmiyyah memungkinkan mentakhrijnya juga dari jalan temanya itu.
Kemudian setelah mentakhrij nash itu dan menelaah satu atau beberapa sanadnya, lakukan takhrij dari jalan sanad dan demikianlah seterusnya seperti diatas.
4. Bila hadits itu sempurna lafadznya namun tidak disebut sanad atau orang yang meriwayatkannya dari karangan sahabat, maka mentakhrijnya dengan jalan melihat lafadz dan temanya juga kemudian setelah itu dari jalan sanadnya.
5. bila keadaan hadits itu disebutkan dengan sanad dan lafadznya pada sebuah kitab diantara kitab-kitab yang diakui. Seperti : Sunan Abu Dawud, al-Jami’ Imam at-Tirmidzi dan yang semacamnya.
Maka metode-metode yang 3 dalam Takhrij Hadits bisa membantunya tanpa ada pengutamaan satu sama lainnya.
Maka hendaklah peneliti memilih yang paling berhubungan dan yang paling mudah dengan menisbatkan kepada adanya sumber-sumber atau rujukan-rujukan yang ada pada tangan peneliti, maka mulailah umpamanya dari jalan melihat sanadnya atau melihat lafadznya atau dari jalan melihat temanya, akan tetapi satu metode tidak akan mencukupi dari yang lainnya tetapi mesti untuk kesempurnaan takhrij itu menggunakan metode-metode yang lain pula karena satu sama lain saling melengkapi.
5.2. Syajarah al-Isnad (Pohon Sanad)
Sesungguhnya diantara yang membantu peneliti dalam mentakhrij dan menjelaskan bentuk-bentuk mutabi’ dan syahid ialah dengan mengambil bantuan dari gambar pohon sanad hadits-hadits yang di takhrij .
5.2.1. Ta’rifnya
Ialah ungkapan dari gambar yang bersifat penjelasan yang tersusun padanya rawi-rawi hadits atau hadits-hadits yang mempunyai satu tema sesuai dengan susunan mereka dalam sanad berserta penjelasan tempat-tempat bertemu dan berpisah padanya.
5.2.2. Macam-macamnya
Dia terbagi kepada dua macam yang pokok, yaitu :
1. Pohon sanad hadits yang diriwayatkan pada satu sumber (mukharrij) dengan beberapa jalan.
2. Pohon sanad bagi hadits yang diriwayatkan pada beberapa sumber yang banyak dengan jalan yang banyak pula.
5.2.3. Contoh-contoh dan kaifiyyah penggambaran
a. Contoh macam yang pertama:
Seperti seorang penyusun kitab dari kitab-kitab sunnah, contohnya; Imam Ahmad atau Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari beberap[a jalan dari seorang sahabat atau lebih. Maka contoh atas apa yang telah dikeluarkan Imam Ahmad dalam Musnadnya :
• (3/281): Ia telah berkata : telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibn Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abd al-Aziz dari Anas Ibn Malik, Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda : “ bersahurlah kalian karena pada sahur itu terdapat berkah.” Maka sungguh telajh mengeluarkannya pada beberapa tempat dengan jalan-jalan yang berbeda.
• (3/258) : Ia berkata: telah menceritakan kepada kami Affan telah menceritakan kepada kami Hammad Ibn Salamah telah menceritakan kepada kami Abd al-Aziz Ibn Shuhaib dari Anas.
• (3/229) : Ia berkata : telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Abd al-Aziz dan Qatadah dari Anas.
• (3/99) : Ia berkata : telah menceritakan kepada kami Husyaim telah memberitakan kepada kami ‘Abd al-Aziz dan Ismail dari ‘Abd al-‘Aziz dari Anas.
• (3/215) Ia berkata : telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibn Bakr, telah memberitakan kepada kami Sa’id dari Qatadah dari Anas.
• (3/243) : Ia berkata : telah menceritakan kepada kami Suraij, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Qatadah dari Anas.
Kaifiyyah menggambar Syajar al-Isnad untuk hadits diatas perhatikanlah dengan seksama pada hadits ini atas poin-poin berikut :
1. Siapa rawi yang meriwayatkan hadits dari sahabat ?
2. Siapa rawi-rawi dari tabi’in ?
3. Guru-guru Imam Ahmad.
Dari sana kita lihat bahwa rawi-rawi yang meriwayatkan dari sahabat ialah Abd al-‘Aziz dan Qatadah.
Dan bahwa sanya perawi-perawi dari ‘Abd al-‘Aziz ialah Husyaim, Ismail, Syu’bah dan Hammad.
Dan kita dapati bahwa sanya perawi dari Qatadah ialah Sa’id dan mengingat Abu ‘Awanah meriwayatkan dari ‘Abd al-‘Aziz dan Qatadah secara bersama maka gambar pohon setelah itu bisa dengan dua cara :
a. Ra’siyy ( dari arah atas kebawah )
b. Ufuqiyy (dari arah kanan menyamping kekiri)
Cara pertama (a) : Syajarah al-Isnad Ra’siyy
- kita memulai dengan nama sahabat sebagai rawi hadits, maka umpamanya rawi ialah Anas maka ditulis pada tengah-tengah garis paling atas
- kemudian kita memecah jalan setelah sahabat dengan dua garis kepada dua orang rawi (tabi’in), yaitu Qatadah dan ‘Abdal-‘Aziz dan kita menjadikannya pada satu garis yang sama untuk menjelaskan bahwa mereka dalam satu martabat.
- Dan dimana perawi-perawi dari ‘Abd al-‘Aziz itu ialah Husyaim, Ismail, Syu’bah dan Hammad, dan perwai-perawi dari Qatadah ialah Sa’id. Sedangkan Abu ;’Awanah meriwayatkan dari keduanya (Abd al-‘Aziz dan Qatadah). Maka ketika itu kita menjadikan tempat bersandar sanad kepada Abd al-‘Aziz, yaitu bahwa ia yang mempunyai bagian yang paling besar dari garis/baris dan kita tinggalkan tempat untuk dua orang rawi Qatadah.
- Kemudian ketika menyusun para rawi dari ‘Abd al-‘Aziz kita menyatukan garis dari Abu ‘Awanah kepada Qatadah, karena Abu ‘Awanah meriwayatkan dari keduanya (Qatadahdan ‘Abd al-‘Aziz), maka kita menjadikannya pada satu tempat, sampai bisa kita tarik garis tanpa terputus dan diulang.
- Kemudian kita jadikan Sa’id pada tempat yang lain yang sejajar dengan Abu ‘Awanah untuk menunjukan bahwa mereka dalam satu Thabaqat/martabat. Demikian seterusnya.
- Kemudian tulis di akhir sumbernya (mukharrij).









Apa yang kita perhatikan dari pohon diatas ?
Kita perhatikan poin-poin berikut ini :
1. Bahwa riwayat Ahmad melalui Husyaim dan Ismail adalah sanad ‘Aliyy bila dibandingkan dengan periwayatannya melaui Ibn Ja’far,. Affan, Suraij, Yunus dan Ibn Bakr. Maka ini merupakan sanad nazil.
2. Bahwa sanya Abu ‘Awanah menjadi mutabi’ Sa’id Ibn Abi ‘Arubah dari Qatadah.
3. Bahwa sanya Yunus dan Suraijh keduannya meriwayatkan dari Abu ‘Awanah, ketika Yunus menyendiri dengan periwayatannya dari Qatadah sambil disertai Abd al’Aziz (oleh karena itu kita rumuzkan pada pohon itu dengan anak panah yang terbelah dua).

Contoh kedua (b): Syajarah al-Isnad Ufuqiyy
Maka kita memulai dengan penulisan nama sahabat pada sebelah kanan (dalam penulisan arab) kemudian mengarahkan para rawi ke sebelah kiri sampai ujung martabat mereka.







Adapun jika keadaan hadits itu diriwayatkan oleh beberapa orang sahabat sedangkan sumbernya satu, maka alangkah bauiknya kita menjadikan bagi tiap orang sahabat satu pohon diluar konsep berdasarkan sistematika yang telah kita jelaskan. Umpamanya : Hadits diatas tadi, Imam Ahmadpun meriwayatkan dalam kitabnya melalui jalan Abi Sa’id al-Khudriyy dan Abu Hurairah.
Telah berkata Imam Ahmad dalam Musnadnya :
• (2/377) : telah menceritakan kepada kami ‘Abdar-Razaq, ia berkata dari ‘Atha dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “ bersahurlah kalian karena pada sahur itu terdapat berkah.”
• (2/477) : telah menceritakan kepada kami Waki’ telah menceritakan kepada kami Ibn Abi Laila ‘Atha dari Abu Hurairah.
• (3/32) : telah menceritakan kepada kami al-Muththalib Ibn Ziyad dari Ibn Abi Laila dari ‘Athiyyah al-‘Aufiyy dari abu Sa’id al-Khudriyy bahwa sanya Rasulullah SAW bersabda : “ bersahurlah kalian karena pada sahur itu terdapat berkah.”
Maka kalau kita buat pohon adalah sebagai berikut:








Apa yang kita perhatikan dari pohon ini ?
Dengan menyandarkan kepada penelitian-penelitian yang telah lalu terhadap pohon sanad hadits Anas, kita perhatikan yhang berikut ini :
1. bahwa sanya sanad-sanad Abu Hurairah dan Abu Sa’id berkumpul pada Muhammad Ibn Abd ar-Rahman Ibn Abi Laila.
2. Bahwa sanya sanad Abu Hurairah dari jalan ‘Abd ar-Razaq adalah sanad Nazil disisi Ahmad dengan dinisbatkan kepada sanad-sanad yang lain.
3. Bahwa sanya ‘Atha itu adalah syahid bagi ‘Athiyyah dan bukanlah mutabi’, karena sesungguhnya mereka berdua meriwayatkan dari seorang sahabat.
4. Bahwa hadits masing-masing sahabat menjadi syahid bagi yang lain. Maka akan tampak kepada kiata dengan cepat syahid-syahid dan martabat-martabat perawi-perawinya pada pohon itu.

b. Contoh macam yang kedua
Yaitu gambar pohon sanad untuk sumber-sumber (mukharrij) yang banyak yang meriwayatkan hadits dari beberapa jalan kepada sahabat.
Kita perhatikan pohon sanad yang tela lalu yang ada pada satu sumber, yaitu Ahmad. Maka kalau kiota takhrij hadits itu sendiri dari beberapa kitab yang lain, maka kita akan dapatkan bahwa hadits Anas telah dikeluarkan oleh 16 sumber rujukan (kitab hadits), dan hadits Abu Hurairah oleh 5 rujukan sedangkan Abu Sa’id sebanyak dua sumber rujukan.
Maka yang utama ialah dijadikan bagi setiap orang sahabat, sebuah pohon sanad. Karena banyaknya cabang-cabang sanad.

C. Ketentuan-Ketentuan Hukum Setelah Mentakhrij Hadits
1. Memperhatikan keadaan rijal sanadnya.
Yaitu dari segi dua ilmu, Tarikh ar-Ruwat dan al-Jarh wa at-Ta’dil. Maka hendaklah peneliti mengenal baik kedua ilmu ini, karena temasuk diantara kemestian disisi para muhaddits mengetahui tarikh ar-Ruwat dan thabaqat mereka. Dan faidahnya ialah terjaga dari tercampurnya rawi-rawi yang serupa namanya, bisa melakukan penelaahan tentang shighah tadlis dan bisa memahami hakikat yang dimaksud dengan al-‘an’anah.
Dan diantara kemestian pula, mengetahui kelahiran-kelahiran dan kewafatan-kewafatan mereka, karena dengan mengetahui keduanya akan terjaga dari pengakuan orang yang mengaku-ngaku bertemu dengan sebagian mereka, sedang pada perkara yang sebenarnya tidaklah demikian.
Demikian pula mengetahui negara-negara dan tanah air mereka. Dan faidahnya ialah terjaga dari tercampurnya dua nama yang sama dalam pengucapan tetapi berbeda dalam penisbatan.
Dan diantaranya lagi, mesti mengetahui al-Muttafiq wa al-Muftariq, karena para rawi itu jika sama nama-nama mereka dan nama ayah-ayah mereka sampai keatas sedangkan personalianya berbeda, atau mereka sama dalam kunyah dan nisbatnya, dikhawatirkan disangkanya dua orang itu seorang, maka kita perlu pula mengetahui hal ini.
Demikian pula al-Muhmal dari nama-nama rawi, karena khawatir yang sebenarnya dua orang dianggap seorang.
Dan juga al-Mu’talif wa al-Mukhtalif, dan al-Mutasyabih. Kesemua itu merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang mesti diperhatikan oleh peneliti.
2. Melihat kepada keadaan riwayat dari segi bersambung dan terputusnya.
Penyampaian (al-Adaa) dan penerimaan (at-Tahammul) hadits merupakan kepentingan yang besar disisi para ulama kritikus dan sungguh mereka telah meletakkan aturan-aturan yang bisa menghukumi dengannya kuat dan lemahnya periwayatan dari segi iththishalnya (bersambung).
Dan sesungguhnya pemerhati perbuatan para Imam pada kitab-kitab hadits dan ilmu-ilmunya ia akan mendapati bahwa sanya mereka membedakan diantara bentuk al-Ada dan at-Tahammul dan mereka mengelompokkannya kedalam 8 kelompok.
Maka mereka menjadikan martabat at-Tahammul yang paling tinggi ialah as-Sima’ kemudian al-Wijadah dan kita mendapati mereka membedakan antara al-‘Ardh dan al-Qiroah, bahkan dalam al-Qira-ahpun, apakah dia itu dari lafadz gurunya, atau dari bacaan rawi atasnya atau bacaan rawi lain atasnya sedangkan ia mendengarkan.
Semua itu memberi efek mengenai kuat dan lemahnya at-Tahammul dan demikian pula al-Adaa.
Dan tidaklah kehati-hatian ini melainkan suatu pagar yang kuat yang ditegakkan oleh para Imam agar tidak masuk kekacauan dalam riwayat, tetapi agar ia tetap suci bersih dari setiap keraguan, kesalahan ataupun kedustaan.
Dan sungguh para ulama telah membuat tingkatan atas penyebutan bentuk-bentuk at-Tahammul dan al-Adaa sebagaimana mereka mendengarnya dan menetapkannya dalam kitab-kitab mereka seperti halnya mereka meriwayatkan. Sampai meskipun lafadz itu berdekatan dari segi kuat bersambungnya. Seperti lafadz dan
Dan perhatian terhadap bentuk-bentuk at-Tahammul dan al-Adaa ketika menghukumi hadits akan tampak pengaruhnya dengan jelas bila keadaan dalam sanad ada seorang mudallis yang meriwayatkan hadits dengan shighah ‘an’anah. Maka jika ia tidak menjelaskan dengan sima’ atau tidak tampak pada riwayat-riwayat lain sima’nya, maka hukum untuk hadits disini dengan dha’if lebih kuat kecuali jika ada qarinah yang lain, seperti ia memberitahukan persahabatan dengan gurunya dalam waktu yang lama.
Kesemua itu menunjang kita dalam melakukan takhrij hadits.




3. I’tibar dan Kaifiyyahnya.

Untuk menetapkan suatu hadits itu gharib, hendaklah diperiksa lebih dulu pada kitab-kitab hadits, semisal kitab al-Jami’ dan kitab Musnad, apakah hadits tersebut mempunyai sanad lain selain sanad yang dicari kegharibannya itu, atau tidak. Kalau ada, hilanglah kegharibannya.
Cara untuk melakukan pemeriksaan terhadap hadits yang diperkirakan gharib dengan maksud apakah tersebut mempunyai mutabi’ atau syahid, disebut I’tibar.
Contoh hadits mutabi’ dan syahid.












Dalam contoh tersebut diatas misalkan yang akan dicari mutabi’ dan syahidnya ialah hadits asy-Syafi’I (no. 1) yang bersanadkan Malik, Ibn Dinar dan sahabat Ibn ‘Umar ra. Maka kita dapatkan bahwa:
a. hadits al-Qa’nabiyy (no.2) adalah menjadi mutabi’-tamm terhadap hadits asy-Syafi’I sebab al-Qa’nabiyy mengikuti periwayatan guru asy-Syafi’I sejak dari guru yang terdekat, yaitu Malik sampai kepada guru yang agak jauh, yaitu Ibn Dinar dan hingga gurunya yang paling jauh, yaitu sahabat Ibn ‘Umar ra. Jadi seluruh guru asy-Syafi’I diambil dan diikutinya.
b. hadits Ibn Khuzaimah (No.3) bersanadkan, ‘Ashim Ibn Muhammad, Muhammad Ibn Zaid dan Ibn’Umar ra. Dan hadits Muslim (No.4) yang bersanadkan ‘Ubaidillah, Nafi’ dan Ibn ‘Umar ra. keduanya adalah menjadi mutabi’-qhasir terhadap hadits asy-Syafi’i. Karena keduanya mengikuti guru asy-Syafi’I yang terjauh, yaitu Ibn ‘Umar ra. atau dengan perkataan lain ketiga rawi hadits tersebut bersumber dari seorang sahabat yang sama. Dikatakan dengan qashir (kurang sempurna), karena hanya mengikuti pada seorang guru saja, tidak semua guru-guru asy-Syafi’i.
Baik hadits Ibn Khuzaimah, maupun hadits Muslim, mempunyai lafadz yang berbeda-beda. Pada hadits Ibn Khuzaimah tertulis Fakammiluu tsalaatsiina dan pada hadits Muslim, tertuliskan faqduruu lahu tsalaatsiina. Kendatipun ketiga hadits tersebut berbeda-beda lafadznya, namun maknanya tetap tidak berbeda.
c. Hadits an-Nasa-I (No.5) yang bersanadklan Muhammad Ibn Hunain dan Ibn ‘Abbas ra. Menjadi syahid terhadap hadits asy-Syafi’I karena sumbernya, yakni Ibn ‘Abbas ra, berbeda dengan sumber hadits asy-Syafi’i. Oleh karena lafadz yang dibawakan oleh an-Nasa-I tidak berbeda dengan lafadz hadits asy-Syafi’I yang sekaligus maknanyapun tidak berbeda, maka hadits an-Nasa-I ini dikatakan hadits syahid bi al-Lafdzi terhadap hadits asy-Syafi’i.
d. Hadits al-Bukhari (No.5) yang bersanadkan Syu’bah, Muhammad Ibn Ziyad dan Abu Hurairah ra. Juga sebagai syahid terhadap hadits asy-Syafi’I, karena al-Bukhari mengambil sumber periwayatannya, tidak sama dengan asy-Syafi’I, yaitu sahabat Abu Hurairah ra. Lafadz yang dibawakan oleh al-Bukhari berbeda dengan lafadz yang dibawakan asy-Syafi’i. Perbedaan itu terletak pada kalimat: fa akmiluu al-‘iddata sya’baana tsalaatsiina. Karena perbedaan lafadz ini tidak membawa perbedaan arti maka syahid yang demikian disebut syahid bi al-ma’na.

Socializer Widget By Blogger Yard
SOCIALIZE IT →
FOLLOW US →
SHARE IT →

0 komentar:

Posting Komentar