Subscribe For Free Updates!

We'll not spam mate! We promise.

2.28.2011

PEMBELAJARAN BERBABSIS TIK DAN PERMASALAHANNYA

Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.


Secara jujur harus diakui, proses pembelajaran yang didesain oleh guru saat ini masih mengebiri potensi siswa didik. Alih-alih berlangsung interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik, proses pembelajaran pun tak jarang berlangsung monoton dan membosankan.

Yang lebih memprihatinkan, masih muncul opini di kalangan sebagian besar guru bahwa pembelajaran dikatakan berhasil apabila suasana kelas berlangsung diam alias bisu dan siswa patuh dengan komando. Suasana kelas pun seringkali berubah mirip ruang karantina untuk “mencuci otak” siswa didik. Pembelajaran jauh dari dialog, bercurah pikir, apalagi dialog interaktif. Siswa yang kritis dan sering bertanya justru sering diberi stigma sebagai siswa “ngeyelan” dan cerewet.

Siswa ber-”talenta” semacam itu tak jarang memancing adrenalin emosi guru yang tidak siap menjawab pertanyaan siswa. Dengan otoritas yang dimilikinya, guru bak sipir penjara yang tengah mengawasi perilaku narapidana (tengok di sini, di sini, dan di sini).

Kedua, dunia persekolahan kita masih jauh dari sentuhan teknologi informasi dan komunikasi. Memang, sudah banyak sekolah yang telah menjadi clien ICT. Namun, sudahkah guru memaksimalkan penggunaannya untuk kepentingan pembelajaran? Ini sebuah “penyakit” yang sering kambuh dalam dunia pendidikan kita. “Pintar melakukan pengadaan barang, tapi gagap dalam merawat, memelihara, dan mengoperasikannya”. Nilai gengsi dan prestise lebih diutamakan ketimbang substansi kepentingan dan manfaatnya.

Ketiga, belum ada perubahan paradigma pendidikan dalam dunia persekolahan kita. Meskipun sistem telah berubah, dari sentralistis ke desentralistis, tapi gaya pengelolaan dunia persekolahan kita tak ada bedanya dengan yang dulu-dulu.

Kepemimpinan sekolah masih bergaya feodalistis bak borjuis kecil. Para penyelenggara pendidikan yang seharusnya melayani, tetapi justru minta dilayani.

Praktik pendidikan pun masih selalu menunggu petunjuk dari atas; miskin kreativitas dan inovasi. Sekolah banyak mendapatkan droping peralatan dan fasilitas, tapi mereka tidak pernah mau belajar bagaimana cara menggunakannya.

Tidak heran apabila subsidi perangkat televisi yang seharusnya sudah dimanfaatkan mengakses siaran TV-Education, masih banyak yang “ndongkrok”, bahkan masih terbungkus rapi.

Keempat, pemberdayaan profesionalisme guru yang masih “jalan di tempat”. Kini, era digital sudah merasuki lorong-lorong kehidupan masyarakat di negeri ini. Dunia maya mampu menyajikan berbagai informasi terbaru, menarik, dan aktual. Namun, sudah banyakkah rekan-rekan guru di negeri ini yang telah mencoba mengaksesnya untuk kepentingan pembelajaran? Dalam hal mengakses informasi, guru tak jarang “kalah bersaing” dengan murid-muridnya. “Siswa didiknya sudah melaju mulus di atas jalan tol, tetapi sang guru masih bersikutat di balik semak belukar”. Mereka sudah biasa mengakses internet, baik milik orang tuanya maupun warnet, dan sudah begitu akrab dengan istilah-istilah dasar “ngenet”, seperti browsing, search engine, e-mail, atau chatting.

Oleh karena itu, sungguh pandangan yang keliru kalau pada abad gelombang informasi seperti sekarang ini masih ada seorang guru yang masih memosisikan dirinya sebagai satu-satunya sumber belajar.

Menurut hemat saya, TIK bisa dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan pembelajaran apabila para guru yang berdiri di garda depan dalam dunia pendidikan kita tidak “gaptek”. Minimal, mereka bisa mengoperasikannya sehingga siswa didik bisa “menikmati” media pembelajaran dengan segenap emosi dan pikirannya. Sebuah kesia-siaan apabila sekolah “dimanja” dengan berbagai piranti teknologi mutakhir, tetapi mereka tak sanggup memanfaatkannya secara maksimal.

Sebagai “agen perubahan dan peradaban” dunia persekolahan kita tampaknya memang harus sudah mulai mengakrabi TIK. Di kelaslah “ruh kurikulum” berada. Dalam benak saya terbersit bayangan, di sekolah yang telah memanfaatkan TIK untuk merevitalisasi pembelajaran, ada sebuah moving class, yang bisa dimanfaatkan secara bergiliran –sesuai jadwal– oleh guru dari berbagai mata pelajaran. Di kelas itu sudah tersedia komputer (PC atau notebook) online, LCD, scanner, printer, dan berbagai software pembelajaran yang menarik dan memikat perhatian siswa didik. Dengan terampil, sang guru akan mengemas pembelajarannya melalui berbagai tayangan media yang menarik, sehingga mampu menggugah emosi dan pikiran siswa untuk bersikap kreatif, penuh inistatif, dan kritis. Dengan demikian, pembelajaran betul-betul berlangsung secara aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Ini artinya, setiap guru, mau atau tidak, harus siap menyongsong “era baru” melalui pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran. Alasan “tidak bisa”, “tidak berbakat” perlu dikubur dalam-dalam karena siapa pun bisa menggunakan TIK asalkan mau belajar dan tidak malu bertanya.

Untuk menciptakan atmosfer baru dalam dunia pembelajaran di sekolah, harus ada upaya serius untuk memberdayakan guru agar mereka tidak “gaptek” lagi dalam memanfaatkan TIK untuk kepentingan pembelajaran. Jika tidak ada upaya serius dan intensif, disadari atau tidak, pemanfaatan TIK dalam pembelajaran hanya akan terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika belaka.

Bagaimana dengan kita para guru, siapa lagi kalau bukan kita yang memulainya?.

Hambatan dan harapan
Era reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 diakui telah melahirkan kebebasan dan keterbukaan di segenap aspek dan ranah kehidupan. Urusan pendidikan yang semula berada dalam genggaman tangan pemerintah pusat, maka mulai dikonsentrasikan ke daerah-daerah melalui kebijakan otonomi daerah yang dianggap lebih aspiratif dan akomodatif terhadap keberagaman dan tuntutan daerah. Namun, era reformasi tidak akan memberikan imbas positif terhadap mutu pendidikan apabila tidak diikuti dengan perubahan paradigma, sikap mental, dan kultur para pengambil kebijakan dan pelaksana pendidikan di tingkat praktis.

Hambatan yang dihadapi para guru untuk malakukan inovasi pembelajaran, yang berkesan mahal ini umumnya justru pada tataran para pengambil kebijakan tersebut di atas. Apalagi jika menyangkut biaya mahal (setidaknya menurut pendapat mereka). Harus dikalkulasi ulang, yang tidak jarang mereka menggunakan perhitungan politis. Bagaimana untung ruginya dilihat dari sisi “kursi” kekuasaannya. Yang sangat memprihatinkan jika mereka mengorbankan kepentingan kemajuan pendidikan untuk sebuah “kenyamanan” yang sudah mereka peroleh selama ini.

Harus diakui, reformasi di dunia persekolahan kita berjalan lamban, kalau tidak boleh dibilang “jalan di tempat”. Menurut hemat saya, paling tidak ada tiga penghambat laju reformasi sekolah. Pertama, faktor kepemimpinan sekolah yang cenderung masih bergaya feodalistis. Ini merupakan faktor kultural yang amat sulit untuk diubah. Masih amat jarang kepala sekolah di negeri ini yang dengan amat sadar mau melakukan perubahan. Status quo dan kenyamanan merupakan jalan yang paling gampang bagi seorang kepala sekolah untuk tetap menduduki kursinya. Ironisnya, ketika ada guru yang dengan kreatif mencoba melakukan inovasi pembelajaran di kelas dianggap “nyleneh” dan tidak becus mengajar, apalagi kalau suasana kelas ramai. Kepemimpinan semacam itu tak lepas dari proses rekruitmen yang salah urus. Keluarga, balas jasa, kawan politik lah dan entah apalagi namanya.

Kedua, kinerja pengawas sekolah yang buruk. Tugas mereka tak lebih hanyalah melakukan supervisi administrasi di ruang kepala sekolah. Kalau melakukan supervisi kepada guru pun, mereka cenderung bersikap instruktif, komando, bahkan menakut-nakuti. Supervisi klinis yang diharapkan mampu membantu guru dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam kegiatan pembelajaran pun tak bisa jalan

Sungguh ironis. Ketika arus reformasi begitu deras mengalir ke berbagai sudut, dunia persekolahan yang diharapkan mampu menjadi agen perubahan dan agen peradaban tak lebih hanya seperti “sapi ompong” yang mandul. Sistem memang telah berubah. Pola sentralistis telah berubah alurnya menjadi gaya desentralistis melalui gerakan otonomi sekolah. Namun, perubahan sistem semacam itu tidak bisa jalan kalau tidak diimbangi dengan perubahan kultural di tingkat bawah.

Manajemen berbasis sekolah (MBS) pun hanya retorika dan slogan yang hanya gencar digembar-gemborkan di ruang-ruang seminar. Bagaimana sekolah dapat melaksanakan manajemen berbasis sekolah jika partisipasi masyarakat terhadap sekolah diambil alih oleh pengambil kebijakan di tingkat daerah. Memang APBS disusun sekolah, tetapi semua mata anggarannya mengadopsi pola anggaran instansi lain di luar institusi sekolah. Mereka tidak sadar bahwa manajemen sekolah itu unik tidak sama dengan instansi non sekolah. Semua tingkatkan manajerialnya ditangani oleh fungsional guru di luar tugas pokoknya, seperti akil kepala sekolah, pembantu urusan, wali kelas, dan tugas-tugas tambahan lainnya.

Mereka ini sangat dibutuhkan keberadaannya di sekolah. Sudah selayaknya para guru yang mendapatkan tugas tambahan ini memperoleh kesejahteraan tambahan. Secara struktural kepegawaian mereka ini jelas tidak diperhitungkan, sehingga tidak ada namanya tunjungan jabatan. Siapa yang memikirkan mereka jika komite sekolah sudah tidak berfungsi. Sementara tugas-tugas mereka harus berjalan terus tidak boleh berhenti. Sedangkan keberadaan Tata Usaha di sekolah yang diharapkan dapat membantu jalannya proses pendidikan sama sekali masih jauh dari memadai.

Dengan berbagai hambatan di atas saya berharap semua iu tidak mengendorkan semangat rekan-rekan guru untuk selalu berinovasi dan berkreasi dalam rangka mencerdaskan bangsa ini. Saya yakin api semangat itu tentu masih tetap membara di dada kita para guru. Tanpa pamrih berjuang demi bangsa ini. Sudah selayaknyalah kita untuk meningkatkan profesionalisme guru yang pantas digugu dan ditiru. Menjadi panutan anak-anak bangsa yang nyaris kehilangan keteledanan baik di keluraga maupun masyarakat sekitarnya.

Kita beruntung masih memiliki tempat bersandar dan bergantung, yaitu pemimpin yang absolute di atas segala pemimpin. Allah Yang Maha Adil dan Bijaksana. Kita serahkan semua persoalan dunia ini kepadaNya, selayaknya kita selalu berdoa semoga para pemimpin bangsa ini selalu diberi kekuatan sehingga dapat menjalankan tugasnya demi kemaslahatan orang banyak, diberikan cahaya iman sehingga dapat dijadikan sandaran ketika rakyatnya sedang terbelit persoalan-persoalan duniawi.

Adalah tugas kita para guru untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional kita yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa secara utuh dan “paripurna” yang tidak hanya cerdas intelegensinya tetapi juga cerdas secara emosional, memiliki moralitas dan kepribadian yang adi luhung. Menjadikan bangsa ini disegani oleh bangsa-bangsa lain bukan karena kekuatan fisiknya tetapi lebih kepada kepribadiannya. Bangsa yang terbuka menerima perubahan dan teknologi maju namun tetap berpijak pada landasan kepribadian dan adat ketimuran yang beradab.

Tugas kita juga para guru untuk mencetak profesi-profesi seperti, guru, dokter, pengusaha, pengacara bahkan pejabat-pejabat negeri seperti lurah, camat, bupati, gubernur bahkan presiden. Hendaknya kecuali ilmu pengetahuan dan agama kita juga mesti goreskan nilai-nilai etika dan estetika serta sendi-sendi moralitas yang baik kepada pesereta didik, sehingga pada saatnya menjadi dokter, pengusaha, pengacara, camat, bupati, presiden adalah dokter, pengusaha, pengacara, camat, bupati, presiden yang tidak lupa kacang akan kulitnya.

Dalam konteks pembelajaran berbasis TIK, marilah kita tumbuhkan minat dan kemauan yang besar untuk sama-sama belajar dan saling berbagi informasi. Sekarang ini sudah terbuka lebar kran informasi dan sumber-sumber belajar baik melalui buku-buku atau media elektronik. Jangan berkutat pada satu buku referensi saja, kalau tidak mau dikatakan “gaptek”. Kedua, jangan pernah merasasudah cukup pintar, jika demikian maka anda akan seperti katak dalam tempurung.

Ketiga, sesekali kunjungi situs-situs internet yang menyajikan berbagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat sehingga dapat memperluas cakrawala pengetahuan. Sepatutnya kita berterimakasih kepada pemerintah yang sudah anggap akan kebutuhan informasi. Sekarang ini kita sudah bisa akses internet secara gratis melalui jejaring pendidikan nasional (Jardiknas) untuk sekolah-sekolah yang sudah terjangkau. Manfaatkan fasilitas tersebut secara optimal,
gunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

Pada akhir tulisan saya ini saya mengajak kepada para guru untuk saling bahu membahu, bertukar pikiran, berbagi pengetahuan dalam rangka memajukan dunia persekolahan kita.

Saya juga ikut merasa senang dan terharu semakin banyak rekan-rekan guru yang terus meningkatkan jalinan komunikasi, sharing, bertukar pikiran melaui blog-blog ataupun website dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajarannya. Walau tidak mengenal secara pribadi mereka ini tampak akrab seperti saudara sendiri, ikatan profesi dan tanggung jawab moral-lah yang mengikatnya menjadi sebuah komunitas tersendiri jauh dari exclusivisme. Terimakasih juga kepada semua pihak di luar profesi guru dan instansi terkait, seperti jurnalis, pengamat, akademisi, para ahli yang masih memiliki kepedulian dan kepekaan yang tinggi terhadap dunia pendidikan kita.

Socializer Widget By Blogger Yard
SOCIALIZE IT →
FOLLOW US →
SHARE IT →

0 komentar:

Posting Komentar