Subscribe For Free Updates!

We'll not spam mate! We promise.

3.27.2011

Sistem penilaian hasil belajar

Penilaian proses dan hasil belajar IPA menuntut teknik dan cara-cara penilaian yang
lebih komprehensif (Stiggins, 1994). Di samping aspek hasil belajar yang dinilai harus
menyeluruh yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, teknik penilaian dan
instrumen penilaian seyogianya lebih bervariasi. Hasil belajar dapat dibedakan
menjadi pengetahuan (know-ledge), penalaran (reasoning), keterampilan (skills), hasil
karya (product), dan afektif (affective). Adapun hasil belajar tersebut dapat diungkap
atau dideteksi melalui beberapa cara atau teknik seperti: pilihan atau respons terbatas
(selected response), asesmen esai (essay assessment), asesmen kinerja (performance
assessment), dan komunikasi personal (personal communication).
Guru perlu memperoleh bekal wawasan melalui berbagai pelatihan dan pemodelan,
atau memperoleh pedoman yang memadai (semacam petunjuk teknis atau petunjuk
pelaksanaan). Selain itu guru perlu mendapat contoh-contoh soal sains (IPA) yang
diluncurkan dalam studi-studi internasional seperti PISA dan TIMSS.


Programme for International Student Assessment (PISA)

Program PISA menyediakan suatu landasan baru untuk dialog masalah kebijakan dan
untuk berkolaborasi dalam mendefinisikan dan mengimple-mentasikan tujuan-tujuan
besar pendidikan. Implementasi tujuan-tujuan tersebut dilakukan dalam cara-cara
yang inovatif dan reflektif yang mempertimbangkan keterampilan-keterampilan yang
relevan dengan kehidupan orang dewasa.
PISA membedakan literasi membaca (reading literacy), literasi matematika
(mathematical literacy), dan literasi sains (scientific literacy) setiap tiga tahun sekali.
Asesmen PISA pertama kali diselenggarakan pada tahun 2000. Dengan fokus terhadap
literasi membaca (reading literacy), PISA 2000 menunjukkan perbedaan yang luas di
negara-negara yang sukses dalam memfasilitasi para siswanya untuk mengakses,
mengelola, mengintegra-sikan, mengevaluasi dan merefleksikan informasi tertulis agar
dapat mengembangkan potensi mereka dan memperluas wawasan mereka selanjutnya.
PISA 2000 juga menggaris bawahi variasi yang signifikan kinerja sekolah-sekolah
dan mengusulkan kepedulian tentang kesamaan (equity) dalam distribusi kesempatan.
Hasil-hasil pertama asesmen PISA 2003 yang fokusnya pada matematika
menunjukkan bahwa rata-rata kinerja kelompok 25 negara OECD mengalami
peningkatan perolehan pada satu atau dua area konten matematika setelah diadakan
asesmen tahun 2000 dan 2003. Literasi membaca dan literasi sains pun tampaknya
mengalami perolehan yang relatif lebih lebar pada learning outcomes negara-negara
yang para siswanya termotivasi untuk belajar, percaya diri pada kemampuan mereka
sendiri dan strategi belajar mereka. Lebih jauh dilaporkan variasi hasil menurut gender
dan latar belakang status sosial ekonomi (SES) kelompok negara-negara. Terlebih-
lebih penting adalah studi tersebut melaporkan hal yang menggembirakan dari negara-
negara yang berhasil mencapai standar kinerja yang tinggi sementara pada saat yang
bersamaan menyediakan suatu distribusi kesempatan belajar yang sama. Hasil capaian
negara-negara tersebut menjadi tantangan bagi negara-negara lainnya untuk
memperlihatkan apa yang mungkin untuk dicapai. Hasil PISA 2000 digunakan sebagai
baseline dan setiap tiga tahun negara-negara akan dapat melihat kemajuan yang telah
dicapainya.
Untuk menilai apakah IPA diimplementasikan di Indonesia, kita dapat melihat hasil
literasi IPA anak-anak Indonesia. Hal ini mengingat arti literasi sains/IPA (scientific
literacy) itu sendiri yang ditandai dengan kerja ilmiah, dan tiga dimensi besar literasi
sains yang ditetapkan oleh PISA, yaitu konten IPA, proses IPA, dan konteks IPA.
Hasil penelitian PISA tahun 2000 dan tahun 2003 menunjukkan bahwa literasi sains
anak-anak Indonesia usia 15 tahun masing-masing berada pada peringkat ke 38 (dari
41 negara) dan peringkat ke 38 dari (40 negara) (Bastari Purwadi, 2006). Skor rata-rata
pencapaian siswa ditetapkan sekitar nilai 500 dengan simpangan baku 100 point. Hal
ini disebabkan kira-kira dua per tiga siswa di negara-negara peserta memperoleh skor
antara 400 dan 600 pada PISA 2003. Ini artinya skor yang dicapai oleh siswa-siswa
Indonesia kurang lebih terletak di sekitar angka 400. Ini artinya bahwa siswa-siswa
Indonesia tersebut diduga baru mampu mengingat pengetahuan ilmiah
berdasarkan fakta sederhana (Rustaman, 2006b).

Socializer Widget By Blogger Yard
SOCIALIZE IT →
FOLLOW US →
SHARE IT →

0 komentar:

Posting Komentar